Hipotesis Tentang Keruntuhan Bursa Efek Indonesia (BEI)
Pada awal tahun 2018, masyarakat Indonesia banyak dikejutkan dengan berita-berita mengenai kecelakaan yang berkaitan dengan konstruksi, mulai dari runtuhnya selasar BEI, sampai kecelakaan pengerjaan yang berujung pada penghentian seluruh proyek jalan layang. Di kalangan perencana struktur dan orang yang terlibat dalam industri konstruksi, kejadian-kejadian tersebut menjadi topik diskusi yang hangat terutama mengenai alasan runtuhnya proyek-proyek tersebut.
Ir. Zainil Zein, principal engineer sekaligus direktur utama Baganusa Dayaprima, mempunyai hipotesis singkat tersendiri 16 Januari lalu berdasarkan gambar dan gambar gerak yang tersebar di media sebagaimana berikut ini.
1. Sistem struktur seperti terlihat pada sketsa. Balok B1 tdk bekerja sebagai kantilever/overhang krn di kedua ujungnya (J3 dan J1) dipegang oleh struktur utama (dinding/balok beton) dan pipa P1.
Balok honeycomb H1 berfungsi antara lain sebagai pengaku lateral.
2. Yg putus pertama kali adalah sambungan pipa J1/J2, sehingga B1 dengan sistem sambungannya J3 yg memang tidak didesain sebagai kantilever ikut gagal/failure.
3. Kenapa joint J1/J2 putus, dan baru putus sekarang?
Ada 2 kemungkinan, pertama beban hidup belum pernah bekerja maksimum, kedua sudah pernah bekerja maksimum tapi sambungan J1 dan J2 masih bertahan.
Kalau kemungkinan pertama yg terjadi, maka ada kesalahan pada perencanaan atau pelaksanaan. Dengan melihat kerumunan manusia pada saat kejadian, dapat diprediksi bahwa belum tercapai beban hidup maksimum yang disyaratkan oleh peraturan pembebanan di Indonesi, yaitu 500 kg/m2 untuk daerah balkon. Sebagai bayangan saja, 500 kg/m2 adalah berat rata-rata 7 orang dewasa yang berdiri bersamaan dalam satu meter persegi. Ditambah lagi, dalam perencanaan struktur terdapat faktor pembebanan, yaitu beban tersebut berarti dikalikan lagi sesuai dengan kombinasinya, contohnya adalah beban mati dikalikan 1.2 dan beban hidup (manusia itu sendiri salah satunya) dikalikan 1.6. Kemungkinan perencana struktur kurang besar memasukkan beban hidup ke dalam perhitungan atau desain yang sudah benar tidak dilaksanakan dengan baik oleh kontraktor. Hanya saja, kemungkinannya cukup kecil karena pada umumnya konsultan perencana menggunakan faktor aman dengan memperbesar kekuatan desainnya.
Kemungkinan kedua, semua desain struktur dan pelaksanaan sudah memenuhi standard. Selama inipun sering mengalami beban hidup maksimum dan tidak terjadi apa-apa. Hal ini berarti dimensi dan sambungan sudah mencukupi. Lalu kenapa tetap terjadi failure? Kemungkinan besar telah terjadi fatigue/kelelahan pada sambungan pipa di J1 dan J2. Fatigue pada struktur terjadi akibat beban dinamis atau beban yang terjadi berulang kali pada struktur, contohnya adalah getaran pada genset. Beban hidup orang tidak termasuk beban dinamis karena getaran yg ditimbulkannya terhadap struktur sangat kecil.
Lantas kenapa pd kasus ini beban orang menimbulkan fatigue ? Menurut Ir. Zainil Zein, pipa penggantung tersebut terlalu kecil dan kurang kaku sehingga pipa ini berikut sambungannya ikut bergetar ketika ada beban hidup. Getaran inilah yg menimbulkan fatigue pada sambungan. Fatigue pada struktur muncul secara perlahan dan akumulatif sehingga seperti bom waktu, pada saat tertentu tidak lagi mampu menahan beban.
Dalam perencanaan struktur ada 2 hal pokok yang hrs diperhatikan yaitu kekuatan dan kekakuan. Biasanya kekakuan hanya dikaitkan dng service-ability (kenyamanan). Kalau analisis diatas benar, maka kekakuan bisa menjadi masalah kpd kekuatan karena kemungkinan fatigue. Untuk desain penampang, beban dinamis memiliki faktor pengali lebih besar dibandingkan beban hidup biasa.
Demikianlah sebuah hipotesis dari Ir. Zainil Zein ditengah banyaknya perkiraan-perkiraan lain yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Walaupun telah dilakukan rilis oleh pihak PUPR dalam bentuk laporan penyelidikan awal (unofficial), investigasi terkait keruntuhan balok BEI masih terus dilakukan sampai adanya kesimpulan yang tuntas.
(baganusa.co.id – ZZ/MMZ)